Koperasi Desa: Antara Gerakan Ekonomi Rakyat dan Alat Program Negara

Cahyadi Joko Sukmono - Ketua Umum DPN ABDSI (Asosiasi Business Development Services Indonesia)--
JAKARTA,DISWAY.ID - Koperasi telah lama diakui sebagai salah satu pilar utama dalam membangun kedaulatan ekonomi rakyat. Lahir dari kesadaran kolektif masyarakat untuk menciptakan keadilan dan kemandirian ekonomi, koperasi berdiri di atas fondasi nilai-nilai partisipasi, solidaritas, dan demokrasi ekonomi. Namun, dalam dinamika kebijakan pembangunan desa dewasa ini, koperasi desa tampaknya mulai menghadapi tantangan serius dalam menjaga kemurnian prinsip-prinsip dasarnya.
Kebijakan pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih (Kopdes MP) menandai langkah besar negara dalam mendorong penguatan kelembagaan ekonomi di tingkat desa. Target pembentukan 80.000 koperasi dalam waktu yang relatif singkat memang tampak ambisius, namun pendekatan ini berpotensi mengabaikan esensi koperasi sebagai gerakan sukarela, berbasis kebutuhan anggota, dan lahir dari proses demokratis yang sahih.
Koperasi tidak bisa dibentuk hanya berdasarkan perintah negara. Pembentukan koperasi semestinya berawal dari kesadaran akan kebutuhan ekonomi bersama dan kesediaan sukarela warga desa untuk berpartisipasi dalam mengelola usaha secara kolektif. Ketika proses kelahirannya disusun lebih atas dasar perintah administratif atau target program, risiko koperasi "kosong jiwa" menjadi sangat besar. Koperasi bisa lahir secara hukum, namun kehilangan partisipasi dan legitimasi sosial dari anggotanya.
Salah satu contoh nyata problem ini dapat dilihat dari prosedur dalam Juklak Kopdes MP yang menempatkan Musyawarah Desa (Musdes) sebagai forum pendirian koperasi. Musdes adalah mekanisme pengambilan keputusan dalam ranah politik pemerintahan desa, bukan forum pengambilan keputusan di ranah organisasi ekonomi. Koperasi adalah entitas yang tunduk pada peraturan perundang-undangan koperasi, di mana keputusan legal hanya bisa lahir dari Rapat Anggota sebagai forum tertinggi.
Lebih lanjut, penempatan Kepala Desa sebagai Ketua Pengawas ex-officio dalam struktur koperasi juga memunculkan persoalan serius terkait independensi koperasi. Koperasi sebagai organisasi otonom seharusnya bebas dari intervensi struktural birokrasi pemerintahan. Posisi Kepala Desa di dalam koperasi justru berisiko menimbulkan benturan kepentingan yang dapat melemahkan daya hidup koperasi sebagai alat perjuangan ekonomi rakyat.
Namun, bukan berarti kebijakan Kopdes MP ini tidak memiliki nilai positif. Justru melalui kritik inilah perbaikan harus dilakukan agar koperasi desa benar-benar tumbuh sebagai pilar ekonomi rakyat yang sehat dan bermartabat. Salah satu solusi konkret yang dapat diterapkan adalah pemisahan yang tegas antara proses pengambilan keputusan di Musdes dan proses pembentukan koperasi melalui Rapat Anggota.
Musdes sebaiknya hanya berfungsi sebagai forum politik desa untuk:
1. Memutuskan kesepakatan bersama mendirikan koperasi desa dengan nama resmi.
2. Menetapkan ruang lingkup peran koperasi dalam pengembangan ekonomi lokal.
3. Menentukan tata kelola aset desa yang bisa dikerjasamakan dengan koperasi sesuai regulasi.
4. Membentuk Komite Persiapan Rapat Anggota.
5. Mengeluarkan rekomendasi rencana unit usaha koperasi yang sejalan dengan kebutuhan desa.
Sumber: